Bangun Budaya Positif, Wujudkan Pembelajaran Berdiferensiasi
-
Bangun Budaya Positif, Wujudkan Pembelajaran Berdiferensiasi
Apakah mereka membaca buku yang sama?
Pembelajaran berdiferensiasi yang optimal tidak serta mer...
Tidak ada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan adalah keniscayaan.
Banyak orang yang mendambakan kemapanan. Sehingga ketika ada perubahan, maka reaksi mereka pun bermacam-macam. Sebagian menerima, sebagian menolak, dan sebagian lainnya acuh tak acuh.
Yang menerima pun bermacam-macam jenisnya. Ada yang benar-benar menerima dengan segala konsekwensinya (misalnya dengan belajar banyak hal) ataupun asal menerima. Demikian juga yang menolak, ada yang asal menolak karena tidak menyukai perubahan. Ada juga yang menolak karena merasa apa yang sudah ada masih layak untuk dipakai.
Demikianlah, berbagai tanggapan pro kontra terjadi ketika kurikulum 2013 akan diterapkan.
Dalam tulisan ini, kita akan menelisik ke belakang bagaimana kurikulum di Indonesia terus menerus mengalami perubahan.
(Imas Kurniasih, 2014) membagi kurikulum di Indonesia menjadi 3 kelompok, yaitu rencana pelajaran, kurikulum berbasis tujuan, dan kurikulum berorientasi kompetensi).
1. Kurikulum Rencana Pelajaran (1947 – 1968)
Meliputi kurikulum 1947, 1952, 1964, dan 1968.
2. Kurikulum Berorientasi Pencapaian Tujuan (1975 – 1994)
Meliputi perubahan kurikulum 1975, 1984, dan kurikulum 1994.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004
4. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
5. Kurikulum 2013
Kalau dihitung, sekurang-kurangnya, sejak kemerdekaan, Indonesia telah mengalami 10 kali perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan ini didasarkan pada situasi kondisi berupa tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia saat itu.
Pada kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran 1947), tujuannya lebih menekankan kepada pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai 1952), harus memperhatikan hal-hal berikut : pendidikan pikiran harus dikurangi, isi pelajaran harus dihubungkan terhadap kesenian, pendidikan watak, pendidikan jasmani serta kewarganegaraan dan masyarakat.
Pada kurikulum 1964 (Rencana Pendidikan 1964), menitikberatkan pada pengembangan cipta rasa, karsa, karya dan moral, yang kemudian dikenal dengan Pancawardhana.
Pada kurikulum 1968, pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila yang sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Pada prinsipnya kelahiran kurikulum ini sangat bersifat politis, yaitu menggantu rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan dengan produk orde lama.
Pada kurikulum 1975, untuk pertama kalinya terlihat dengan jelas tujuan pendidikan. Dari tujuan tersebut diuraikan tujuan-tujuan yang akan dicapai seperti tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus, dan berbagai rincian lainnya.
Pada kurikulum 1984, terjadi penyempurnaan dari kurikulum 1975. Hal yang menonjol pada kurikulum 1984 adalah adanya CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan Sistem Spiral. Di sini pembelajaran mulai bergeser dari teacher oriented ke student oriented. Dan dengan sistem spiral, maka semakin tinggi jenjang pendidikannya, materi yang diberikan makin dalam dan detil.
Pada Kurikulum 1994, pembelajaran lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat. Dan dalam pelaksanannya, guru menggunakan strategi yang melibatkan siswa secara aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, mencakup beberapa kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa.
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, guru dan sekolah lebih memiliki otoritas dalam mengembangkan kurikulum secara bebas dengan memperhatikan karakteristik siswa dan lingkungan di sekolah masing-masing.
Pada kurikulum 2013, menurut Mendikbud, lebih menekankan pada kompetensi berbasis sikap, ketrampilan, dan ketrampilan. Salah satu ciri pada kurikulum ini adalah guru dituntut untuk berpengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa lebih leluasa dalam mengakses berbagai informasi melalui perkembangan ICT/TIK.
Guru sebagai salah satu komponen penting penggerak kurikulum dituntut untuk mampu menerapkannya dalam rencana pembelajaran di kelas-kelas. Tentunya, ada yang siap dan ada yang tidak. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Ada yang proaktif dan ada yang reaktif.
Belajar dari sejarah perkembangan kurikulum di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan kurikulum adalah keniscayaan. Tantangan setiap zaman berubah.
Dari dunia luar, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat. Berbagai tayangan lewat media televisi, majalah/surat kabar, internet yang begitu menarik menjadi saingan tersendiri bagi para siswa, ketimbang membaca buku-buku/LKS yang begitu-begitu saja. Untuk itulah sudah saatnya guru, bukan lagi belajar menggunakan komputer tetapi sudah sampai tahap memanfaatkan komputer untuk mendukung pembelajaran. Buatlah konten yang menarik, berupa video, animasi, simulasi, dan konten-konten lain yang sarat multimedia dan interaktif. Nah di sinilah guru dituntut untuk terus belajar. Belajar sepanjang hayat.. life long education..bisa menjadi jargon untuk mau dan mampu mengimplementasikan kurikulum 2013.
Demikian juga, adanya tantangan dari dalam pendidikan sendiri. Pendidikan sudah mengalami pergeseran, dari berorientasi guru ke arah berorientasi siswa. Kita sudah belajar tersebut sejak tahun 2004 melalui CBSA sampai sekarang. Tidak lagi saatnya menjadikan diri sebagai guru yang “menakutkan”. Menginginkan kelas yang “sunyi senyap”..kelas yang “tenang”. Dan ini tantangannya. Bagaimana mengembalikan kelas kepada situasi yang membuat siswa senang dan nyaman, sementara pembelajaran yang dilakukan juga bisa mencapai tujuannya.
“Masuklah ke dunia anak, baru perkenalkan dunia kita kepada mereka”. Inilah asas dari Quantum Teaching, yang bisa kita gunakan.
Hal ini senada dengan, “Mencoba mengerti dulu baru dimengerti”, sebagai kunci menjalin hubungan, seperti yang dikatakan oleh Stephen R. Covey.
Akhirnya, mari kita sambut kurikulum 2013 dengan terus-menerus memperbaharui diri. Sebuah filosofi Tao yang bagus, yang mengatakan “banyak melakukan tetapi tidak merasa melakukan”.
No losing of hope menyikapi perubahan-perubahan yang seringkapi tidak sesuai keinginan. Arsyad Riyadi Juli 30, 2014 New Google SEO Bandung, Indonesia
Banyak orang yang mendambakan kemapanan. Sehingga ketika ada perubahan, maka reaksi mereka pun bermacam-macam. Sebagian menerima, sebagian menolak, dan sebagian lainnya acuh tak acuh.
Yang menerima pun bermacam-macam jenisnya. Ada yang benar-benar menerima dengan segala konsekwensinya (misalnya dengan belajar banyak hal) ataupun asal menerima. Demikian juga yang menolak, ada yang asal menolak karena tidak menyukai perubahan. Ada juga yang menolak karena merasa apa yang sudah ada masih layak untuk dipakai.
Demikianlah, berbagai tanggapan pro kontra terjadi ketika kurikulum 2013 akan diterapkan.
Dalam tulisan ini, kita akan menelisik ke belakang bagaimana kurikulum di Indonesia terus menerus mengalami perubahan.
(Imas Kurniasih, 2014) membagi kurikulum di Indonesia menjadi 3 kelompok, yaitu rencana pelajaran, kurikulum berbasis tujuan, dan kurikulum berorientasi kompetensi).
1. Kurikulum Rencana Pelajaran (1947 – 1968)
Meliputi kurikulum 1947, 1952, 1964, dan 1968.
2. Kurikulum Berorientasi Pencapaian Tujuan (1975 – 1994)
Meliputi perubahan kurikulum 1975, 1984, dan kurikulum 1994.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004
4. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
5. Kurikulum 2013
Kalau dihitung, sekurang-kurangnya, sejak kemerdekaan, Indonesia telah mengalami 10 kali perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan ini didasarkan pada situasi kondisi berupa tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia saat itu.
Pada kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran 1947), tujuannya lebih menekankan kepada pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai 1952), harus memperhatikan hal-hal berikut : pendidikan pikiran harus dikurangi, isi pelajaran harus dihubungkan terhadap kesenian, pendidikan watak, pendidikan jasmani serta kewarganegaraan dan masyarakat.
Pada kurikulum 1964 (Rencana Pendidikan 1964), menitikberatkan pada pengembangan cipta rasa, karsa, karya dan moral, yang kemudian dikenal dengan Pancawardhana.
Pada kurikulum 1968, pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila yang sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Pada prinsipnya kelahiran kurikulum ini sangat bersifat politis, yaitu menggantu rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan dengan produk orde lama.
Pada kurikulum 1975, untuk pertama kalinya terlihat dengan jelas tujuan pendidikan. Dari tujuan tersebut diuraikan tujuan-tujuan yang akan dicapai seperti tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus, dan berbagai rincian lainnya.
Pada kurikulum 1984, terjadi penyempurnaan dari kurikulum 1975. Hal yang menonjol pada kurikulum 1984 adalah adanya CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan Sistem Spiral. Di sini pembelajaran mulai bergeser dari teacher oriented ke student oriented. Dan dengan sistem spiral, maka semakin tinggi jenjang pendidikannya, materi yang diberikan makin dalam dan detil.
Pada Kurikulum 1994, pembelajaran lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat. Dan dalam pelaksanannya, guru menggunakan strategi yang melibatkan siswa secara aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, mencakup beberapa kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa.
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, guru dan sekolah lebih memiliki otoritas dalam mengembangkan kurikulum secara bebas dengan memperhatikan karakteristik siswa dan lingkungan di sekolah masing-masing.
Pada kurikulum 2013, menurut Mendikbud, lebih menekankan pada kompetensi berbasis sikap, ketrampilan, dan ketrampilan. Salah satu ciri pada kurikulum ini adalah guru dituntut untuk berpengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa lebih leluasa dalam mengakses berbagai informasi melalui perkembangan ICT/TIK.
Guru sebagai salah satu komponen penting penggerak kurikulum dituntut untuk mampu menerapkannya dalam rencana pembelajaran di kelas-kelas. Tentunya, ada yang siap dan ada yang tidak. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Ada yang proaktif dan ada yang reaktif.
Belajar dari sejarah perkembangan kurikulum di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan kurikulum adalah keniscayaan. Tantangan setiap zaman berubah.
Dari dunia luar, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat. Berbagai tayangan lewat media televisi, majalah/surat kabar, internet yang begitu menarik menjadi saingan tersendiri bagi para siswa, ketimbang membaca buku-buku/LKS yang begitu-begitu saja. Untuk itulah sudah saatnya guru, bukan lagi belajar menggunakan komputer tetapi sudah sampai tahap memanfaatkan komputer untuk mendukung pembelajaran. Buatlah konten yang menarik, berupa video, animasi, simulasi, dan konten-konten lain yang sarat multimedia dan interaktif. Nah di sinilah guru dituntut untuk terus belajar. Belajar sepanjang hayat.. life long education..bisa menjadi jargon untuk mau dan mampu mengimplementasikan kurikulum 2013.
Demikian juga, adanya tantangan dari dalam pendidikan sendiri. Pendidikan sudah mengalami pergeseran, dari berorientasi guru ke arah berorientasi siswa. Kita sudah belajar tersebut sejak tahun 2004 melalui CBSA sampai sekarang. Tidak lagi saatnya menjadikan diri sebagai guru yang “menakutkan”. Menginginkan kelas yang “sunyi senyap”..kelas yang “tenang”. Dan ini tantangannya. Bagaimana mengembalikan kelas kepada situasi yang membuat siswa senang dan nyaman, sementara pembelajaran yang dilakukan juga bisa mencapai tujuannya.
“Masuklah ke dunia anak, baru perkenalkan dunia kita kepada mereka”. Inilah asas dari Quantum Teaching, yang bisa kita gunakan.
Hal ini senada dengan, “Mencoba mengerti dulu baru dimengerti”, sebagai kunci menjalin hubungan, seperti yang dikatakan oleh Stephen R. Covey.
Akhirnya, mari kita sambut kurikulum 2013 dengan terus-menerus memperbaharui diri. Sebuah filosofi Tao yang bagus, yang mengatakan “banyak melakukan tetapi tidak merasa melakukan”.
No losing of hope menyikapi perubahan-perubahan yang seringkapi tidak sesuai keinginan. Arsyad Riyadi Juli 30, 2014 New Google SEO Bandung, Indonesia
Teringat ketika, saya masih SMP. Waktu itu memasuki kelas 2. Ada seorang guru perempuan yang katanya “killer”, meskipun di sisi lain kami merasa dekat dan merasa sedih ketika beliau pindah sekolah. Beliau cantik tetapi kalah kecantikannnya dengan kegalakannya. Ini menurut saya loh.
Waktu itu ada tugas mengerjakan PR dari buku paket. Tak terbayangkan saya hanya kekurangan 2 soal dari 20 soal, berakibat saya harus mengulangi mengerjakan PR tersebut sebanyak sepuluh kali. Seingat saya ini adalah soal pilihan ganda yang cara mengerjakannya, baik soal maupun jawaban harus ditulis lagi.
Usut punya usut, ternyata buku yang saya pakai adalah buku edisi lama. Sedangkan yang dipakai saat itu adalah buku revisi.
Kedua saat saya SMA. Ceritanya ada tugas meringkas dari buku. Entah perintahnya tidak jelas atau teman-teman yang tidak sempat (baca : agak malas), maka seminggu berikutnya hanya 2 orang yang menyelesaikan ringkasannya. Termasuk saya, yang mendapat nilai 90 dari sebuah ringkasan. Kesamaan dengan cerita “salah buku di SMP” adalah saya masih menggunakan buku edisi lama. Perbedaannya adalah di SMA saya sukses pakai buku edisi lama.
Apa yang menarik dari cerita di atas?
Waktu itu jelas, saya tidak memahami apa itu kurikulum. Tidak pernah guru-guru bercerita, kurikulum apa yang dipakai. Saya masuk SMP pada tahun 1990, berarti saat itu yang dipakai kurikulum 1984. Wajar dalam kurun waktu tersebut buku-buku terus direvisi. Baru ganti buku saya sudah merepotkan, apalagi ganti kurikulum.
Saya ingat betul, bahwa buku-buku yang saya pakai dari awal sekolah (MI), kemudian melanjutkan ke SMP dan SMA lebih banyak menggunakan buku-buku sisa peninggalan kakak saya. Dari yang selisih sekolahnya 10 tahun sampai yang 2 tingkat di atas saya. Dalam banyak hal saya mempunyai bahan bacaan yang berbeda dari teman-teman sekelas. Di sisi lain terasa merepotkan, karena harus juga menyesuaikan dengan referensi yang dipakai saat itu. Hal ini terasa bermasalah ketika pelajaran-pelajaran non eksak.
Tambahan sana-sini pada buku revisi harus ditulis, baik di buku saya yang lama maupun dalam catatan.
Penggunaan buku-buku lama tersebut terus berulang. Bahkan sampai mau UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan sampai sekarang jadi guru. Sejak tahun 2004 – 2014, buku-buku kurikulum 1994.
Dan saya tidak menemukan masalah yang berarti, ketika harus memakai buku-buku lama tersebut. Misalnya ketika dulu mengajar di SMA/SMK tahun 2004, saya masih setia dengan buku-buku Olimpiade Fisika-nya Yohanes Surya yang diterbitkan tahun 1996. Olimpiade sendiri singkatan dari TeOri dan Latihan Fisika Menghadapi Masa Depan. Termasuk buku Fisika-nya Nyoman Kertiasa yang diterbitkan pertama kali tahun 1993 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan seingat saya , buku Fisika waktu saya SMA (karangan Yohanes Surya yang diterbitkan oleh Intan Pariwara tahun 1986) juga masih dipakai.
Demikian juga ketika kurikulum 2004, 2006 dan sekarang kurikulum 2013. Buku-buku edisi lama pun masih bertengger dengan manisnya. Selalu siap menjadi salah satu referensi dalam mengajar.
Mungkin ada yang bertanya..Anda kan guru, bisa mengambil materi dari buku sana-sini. Bagaimana dengan para siswa?
Jawaban saya sederhana.
Apapun kurikulumnya, gurunya tetap. Perubahan apapun dalam kurikulum tidak serta merta mengorbankan apa yang telah dipunya sebelumnya.
Di perpustakaan banyak sekali buku-buku yang menumpuk. Siapa yang akan pakai? Yakinkah kita, kalau siswa-siswa mau meminjam buku-buku lama tersebut, kalau kita sebagai guru tidak mau memakainya. Padahal di banyak hal. Materi-materi di buku-buku terbaru masih banyak yang termuat di buku-buku lama tersebut. Bahkan beberapa isinya jauh lebih lengkap. Hitungannya sederhana. Ketika satu buku (misalnya buku BSE dan buku siswa kurikulum 2013) dipakai untuk 2 semester, yang memuat Fisika, Biologi dan Kimia untuk IPA SMP. Kita bandingkan dengan buku edisi lama, dengan 1 buku memuat 1 semester dan untuk 1 bidang saja (misalnya Fisika), tentunya buku yang lama relatif lebih lengkap isinya.
Dari gambaran tersebut, akan mengurangi anggapan adanya keharusan ganti buku saat ada pergantian kurikulum. Jangan sampai dengan ketersediaan buku-buku oleh pemerintah (dalam bentuk BSE, buku siswa maupun buku guru), membuat kita kehilangan kesempatan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan tambahan karena segan untuk mencari informasi-informasi dari buku-buku lain. Arsyad Riyadi Juli 30, 2014 New Google SEO Bandung, Indonesia
Merindukan Kurikulum 2013
Guru yang mengajar hanya dengan metode ceramah atau
mengandalkan presentasi adalah guru yang dholim.
Kata-kata dari salah satu instruktur pada diklat PLPG beberapa waktu lalu terus menghantui pikiranku. Jujur saja selama ini, saya belum "ngeh", dengan adanya kurikulum 2013. Pertama, karena sekolah tempatku mengajar belum melaksanakan. Kedua, kurang pekanya diri saya terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Tetapi, setelah mendengar kata-kata tersebut, sontak kesadaranku bangkit (moga-moga selamanya..hehehehe). Aku mengaca pada diriku sendiri, yang selama ini sudah merasa cukup dengan mengajar pakai gaya sendiri. Yang penting aku enjoy dan siswa bisa menikmati.
Ternyata itu tidak cukup. Buktinya apa?
Kita bisa melihat output dari siswa kita, apakah sudah memiliki karakter yang baik. Disiplin, santun, jujur, obyektif, menghargai orang lain dan sebagainya. Inisiatif, kreatif, inovatif, dan nilai-nilai karakter lain sudahkah terbentuk?
Dulu ketika saya mengajar, satu hal yang sering kukatakan pada siswa.
"Nak, mengajar fisika itu gampang.
Tetapi, membuat kamu belajar tanpa diperintah itu yang sulit."
Selalu dan selalu itu yang kukatakan.
Ternyata hal itu tidak cukup.
Perlu adanya aksi nyata dalam melaksanakan pembelajaran, salah satunya dengan mulai menerapkan kurikulum 2013. Perubahan-perubahan yang nampak pada standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses maupun standar penilaian perlulah dicermati sehingga target pelaksanaan kurikulum ini akan tercapai.
Kompetensi lulusan dari jenjang SD, SMP, SMA, SMK bisa kita lihat ternyata sama, yaitu adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kedudukan mata pelajaran (ISI), yaitu kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Kompetensi dikembangkan melalui: Tematik terpadu dalam semua mata pelajaran (SD), mata pelajaran (SMP, SMA) dan vokasinal (SMK).
Dalam proses pembelajaran :
- Standar Proses yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
- Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat
- Guru bukan satu-satunya sumber belajar.
- Sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan
- Penilaian berbasis kompetensi
- Pergeseran dari penilaian melalui tes [mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja], menuju penilaian otentik [mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil]
- Memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal)
- Penilaian tidak hanya pada level KD, tetapi juga kompetensi inti dan SKL
- Mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama
penilaian
Dalam pelaksanaan pembelajaran digunakan pendekatan saintifik dan kontekstual melalu kegiatan : observing (mengamati), questioning (menanya), associating (menalar), experimenting (mencoba), dan networking (Membentuk jejaring). Demikian juga dalam proses penilaian menggunakan penilain otentik, yaitu : penilaian berbasis portofolio, pertanyaan yang tidak memiliki jawaban tunggal, memberi nilai bagi jawaban nyeleneh, menilai proses pengerjaannya bukan hanya hasilnya, penilaian spontanitas/ekspresif, dan lain-lain.
Model pembelajaran yang diterapkan mengacu pada teori konstruktivisme, yang memandang bahwa ilmu pengetahuan harus dibangun oleh siswa. Dalam hal ini siswalah yang membangun dan menemukan sendiri pengetahuannya. Model pembelajaran yang dimaksud meliputi discovery learning (pembelajaran penemuan), problem based learning (pembelajaran berbasis masalah), dan project based learning (pembelajaran berbasis proyek).
Dengan menerapkan kurikulum 2013, diharapkan tidak terjadi lagi pembelajaran yang dholim lagi. Kesemuanya mengarah kepada kompetensi religiusitas sebagai kompetensi pertama dan tujuan dari pendidikan.
Arsyad Riyadi Oktober 10, 2013 New Google SEO Bandung, Indonesia