Salah satu kebijakan merdeka belajar adalah mengubah Ujian Nasional (UN) menjadi Assesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter. Kebijakan yang lain yaitu Ujian Sekolah Berstandar Sekolah (USBN) diganti dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaraan (RPP) yang disederhanakan serta penerimaan peserta didik Baru (PPDB) Zonasi.
Keempat kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Dengan pendidikan yang memerdekakan ini, semua peserta didik akan dapat belajar dengan nyaman dan bahagia tanpa tekanan apapun. Pendeknya dengan "merdeka belajar" ini siswa lebih dapat mengekspresikan dirinya secara merdeka agar potensinya dapat maksimal.
Kalau UN digantikan dengan AKM, apakah motivasi siswa tidak hilang? Bahkan UN menjadi kehilangan "kesaktiannya" saat tidak lagi menentukan kelulusan sekolah. Apalagi dengan sistem PPDB zonasi yang tidak mensyaratkan nilai untuk menjadi faktor penentu lolos seleksi, kecuali yang lewat prestasi.
Kalau dicermati, pola pikir selama ini yang boleh jadi keliru ketika memaksakan UN menjadi kriteria penentu kelulusan. Seolah-olah, siswa yang nilai UN nya tinggi dianggap siswa yang sukses. Siswa yang sukses karena nilai UN ini diyakini memiliki modal yang lebih tinggi dalam menjalani kehidupan dibanding siswa yang nilai UN-nya rendah. Apakah memang seperti itu?
Dulu saya suka bercerita tentang seorang siswa yang menusuk gurunya karena mendapat nilai 90 untuk mapel Fisika. Cerita ini saya lupa dapat ide dari mana, tetapi berulangkali saya ceritakan. Kok bisa nilai 90 marah dengan guru fisikanya. Iya..kebetulan mapel yang lain seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, dan Biologinya dapat 100. Berlebihan mungkin cerita ini. Tetapi setidaknya bayangkan siswa tersebut merasa kecewa karena nilai fisika tersebut telah menjadikannya tidak sempurna.
Kalau cerita itu benar, siswa tersebut sampai melukai gurunya maka dapat dikatakan siswa itu gagal dalam menjalani kehidupan. IQ boleh tinggi, tetapi EQ, SQ, dan AQ juga harus seimbang.
Lah..lantas apa hubungannya dengan AKM.
Suka tidak suka, dengan adanya UN maka seolah-olah akan terbedakan adanya 2 mapel, yaitu mapel UN (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA) dengan mapel UN. Dalam pembelajarannya pun terbedakan. Mapel UN akan diajarkan dengan penuh serius plus ada tambahan pelajaran dan berbagai try out. Hal ini tidak menjadi masalah sebatas tidak mengabaikan peran pelajaran lain atau memandang sebelah mata.
Mungkin juga tidak sadar, bahwa siswa dapat mengerjakan UN dengan baik karena memiliki ingatan serta cara berpikir yang kritis dan kreatif. Modal ingatan dan cara berpikir ini hasil dari akumulasi bertahun-tahun bergelut dengan semua mata pelajaran bukan dari mapel UN. Jangan-jangan anak-anak lebih kreatif dalam berpikir karena dia menyukai pelajaran seni budaya atau prakarya. Jangan-jangan anak-anak lebih stabil atau tenang saat mengerjakan UN karena sentuhan mapel agama atau BK selama ini.
Ujian Nasional (UN) dan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) memang hal berbeda, tetapi keduanya sama-sama merupakan bentuk penilaian. UN mengujikan konten materi pelajaran sedangkan AKM bicara kompetensi dasar. Kompetensi dasar ini diperlukan bagi siswa untuk meningkatkan kapasitas diri serta berpartisipasi dalam masyarakat. Dua kompetensi mendasar ini meliputi literasi membaca dan literasi matematika (numerasi). Di sini siswa harus menggunakan kemampuan bernalarnya untuk menggabungkan kosep dan pengetahuan yang dimiliki, mengolah berbagai informasi serta menyelesaikan beragam masalah kontekstual.
Soal-soal AKM tidak lagi mengacu pada konten pelajaran, meskipun perlu yang namanya pemahaman teks khususnya saat menyelesaikan literasi membaca maupun menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan matematika (numerasi). Tetapi tidak boleh terjebak pada pemahaman yang salah yaitu literasi membaca itu berurusan dengan mapel Bahasa dan numerasi berurusan dengan mapel Matematika. Sehingga guru-guru yang memegang mapel tersebut diberi tanggung jawab untuk mengajarkan AKM.
Sebenarnya kata-kata "mengajarkan AKM" menjadi istilah yang lucu. Apalagi saat mendengar ada sebuah sekolah yang membuat program sukses AKM dengan berbagai kegiatan seperti les maupun try out. Alih-alih ingin membuat siswa merdeka, malah seolah-olah memunculkan "hantu baru" pengganti UN yang lebih menakutkan dengan cara menyodorkan contoh-contoh soal AKM yang begitu panjangnya serta membutuhkan analisis yang mendalam. Semoga sih hal ini tidak terjadi. Sehingga yang dimaksud program sukses AKM ini bukan les atau drill soal tetapi ke arah perbaikan proses pembelajaran.
AKM ini dilaksakanan pada kelas V untuk SD, kelas VIII untuk SMP, dan kelas XI untuk SMA. AKM ini tidak dilaksanakan oleh semua siswa tetapi diambil sampel. Dengan sampel ini diharapkan, sekolah akan mendapatkan gambaran yang lebih tepat apakah proses pembelajaran selama ini memang sudah mementingkan proses bernalar, berpikir kritis dan kreatif atau terjebak pada hapalan semata.
Dan dari hasil AKM tersebut, karena dilaksanakan kelas V, VIII, dan XI maka sekolah diberi waktu untuk memperbaiki pembelajarannya jika nilai AKM nya rendah serta tetap dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya jika standar AKM nya dah tercapai.
Jadi, AKM ini adalah tanggung jawab bersama semua guru dengan latar belakang mapel apapun. AKM ini menjadi gambaran yang lebih nyata bagi sekolah, apakah siswa memiliki kompetensi mendasar dalam menyelesaikan berbagai ragam permasalahan kontekstual. Tidak ada drill atau persiapan yang instan.
AKM ini sebagai gambaran apakah proses pembelajaran selama ini telah melatih kemampuan nalar siswa atau tidak. Kemampuan nalar siswa akan berkembang jika mereka secara nyaman dan merdeka dalam memaksimalkan potensinya. Pembelajaran-pembelajaran berbasis inquiri/discoveri, berbasis masalah, serta berbasis proyek menjadi pilihan yang sesuai untuk menjadikan siswa memiliki kemampuan bernalar, berpikir kritis dan kreatif untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupn.
Selamat belajar.