Mungkinkah Mengajar Tanpa Kekerasan, menjadi salah satu pertanyaan yang seringkali menghantui saya selama menjadi guru. Ingat betul, saat dulu mengajar di SMK, kadang-kadang sepatu yang saya pakai terlepas (baca : dilepas) buat "nggebuk" para siswa yang "menjengkelkan". Entah karena terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas, gaduh di dalam kelas dan sebab lain. Ya...itu awal-awal jadi guru. Boleh jadi karena kurang pengalaman atau terbawa lingkungan alias situasi.
Kebiasan "buruk" saya lambat laun menghilang ketika mengajar di SMA. Dan aku yakin karena faktor lingkungan alias situasi saja. Dan kebiasaan tersebut benar-benar nyaris hilang saat mengajar di SMP.
Awal-awal mengajar di sekolah yang sekarang sebenarnya sama. Masih suka marah atau jengkel melihat "kenakalan" para siswa.
Hanya saja pada akhir-akhir ini, saya menanyakan kembali. Mengapa harus marah kepada siswa? Benarkah kemarahan bisa mengatasi masalah? Benarkah bersuara keras akan menyebabkan siswa-siswa terdiam? Ya...akhirnya muncul pertanyaan "Mungkinkan Mengajar Tanpa Kekerasan?"
Dan seiring waktu...kecenderungan yang muncul adalah BISA. Itu jawabannya. SANGAT MUNGKIN. HARUS. Sebuah KENISCAYAAN....Mengajar harus dengan kesantunan dan kelembutan.
Berdasarkan pengamatan terhadap diri sendiri maupun teman sejawat, saya bisa mengambil kesimpulan awal sebagai berikut :
- Tidak nampak perbedaan prestasi antara siswa yang diajar oleh guru yang keras dengan guru yang lemah lembut. Prestasi yang dimaksud di sini adalah capaian nilai mata pelajaran dalam ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan semester, ujian sekolah /nasional.
- Terkait dengan no. 1, siswa-siswa yang kelihatannya memperhatikan pelajaran saat diajar guru yang "killer" kemungkinan terpaksa fokus atau sekedar kelihatan fokus, padahal pikiran dan hati entah ke mana. Dan...tidak ada rumusnya siswa akan memiliki memory jangka panjang dalam pembelajaran yang "menegangkan".
- Ada kecenderungan siswa akan "balas dendam" saat diajar guru-guru yang lemah lembut. Siswa yang kelihatan manut..nurut saat diajar guru "killer" akan banyak berulah ketika diajar guru yang "lemah lembut".
- Mengajar secara "keras" membuat stres siswa dan juga diri sendiri. Kesalahan yang dilakukan anak, misalnya ada seorang siswa yang belum mengerjakan PR kemudian kita memarahinya. Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh siswa tersebut tetapi siswa-siswa lain ada yang ketakutan. Apalagi dengan suara yang "menggelegar"..gak adil kan buat siswa lain. Persis kalau sedang rapat, kemudian ada yang marah sehingga suasana rapat menjadi sunyi senyap. Tidak nyaman. Yang marah-marah puas..tapi lupa yang lain kan menjadi tidak nyaman.
- Perlu ditanyakan kembali, mengajar dengan kekerasan sebagai salah satu solusi jitu. Kenyataanya paling siswa hanya diam (baca : takut sejenak), setelah itu pun akan merasa merdeka...menjadi sedikit..bahkan "kurang ajar" ketika guru killer meninggalkan kelas.
- Sering kan mendengar reaksi spontan siswa, ketika diberitahukan pelajarannya kosong karena gurunya tidak hadir. Padahal ketidakhadirannya tersebut karena sedang sakit. Tapi secara otomatis siswa akan bersorak-sorai...pa lagi jika guru tersebut "kurang di hati" mereka.
- Rasa manut siswa boleh jadi semu. Karena di luar kita, mereka suka menggunjing baik via offline maupun online. Khusus via online, pantaulah status mereka di medsos. Ada loh, yang ndak mau menerima pertemanan dengan siswa bahkan menjaga jarak. Padahal hal ini merugikan diri sendiri...karena membuat kita kurang bisa memantau aktivitas siswa-siswa kita saat di media sosial. Maaf ya...bagi saya, tanggung jawab menjadi guru bukan sebatas di dalam sekolah, tetapi juga interaksi para siswa kapan saja dan di mana saja sebagai guru wajib menegur jika melihat siswa yang berbuat "salah".
Semoga pendidikan kita ke depan akan lebih baik lagi.
Thanks for reading & sharing Sains Multimedia
0 Post a Comment:
Posting Komentar